Membaca Teks yang Tersirat di Balik Berita

12 Januari 2024 - Kategori Blog

Mantan jurnalis Tempo yang juga penulis buku “Mengapa Demokrasi Tidak Mati di Jakarta?”, Qusyaini Hasan bersama mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang kini menjadi calon presiden Republik Indonesia.

Oleh : Qusyaini Hasan *

Setiap berita yang muncul di halaman koran, media online, atau yang dibacakan presenter di TV kesayangan Anda, sejatinya merupakan fakta atau peristiwa hasil dari bentukan media. Media melakukan penyusunan ulang atau rekonstruksi atas fakta yang terjadi berdasarkan pengalaman, preferensi, latar belakang pengetahuan setiap reporternya.

Pada prinsipnya setiap upaya menceritakan sebuah peristiwa, keadaan atau benda melalui simbol-simbol (baik berbal maupun nonverbal) merupakan usaha mengkonstruksi realitas. Begitu juga dalam pembuatan dan penulisan berita yang awalnya berbentuk data atau fakta yang acak dan berserakan, untuk kemudian menjadi sistematis dalam bentuk realitas simbolik berupa berita atau cerita.

Dengan demikian, berita-berita yang dikonsumsi khalayak setiap hari merupakan realitas peristiwa, keadaan, atau benda yang telah dibahasakan oleh para komunikator massa, dalam hal ini wartawan.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa peristiwa yang sama dapat dipandang dan dimaknai secara berbeda berdasarkan interpretasi atau prasangka yang dimiliki masing-masing pihak, baik wartawan atau sumber berita. Karena, secara logis kedua unsur ini bisa mempengaruhi obyek komunikasi secara umum. Walhasil, dampaknya bisa dua: ada realitas faktual, ada pula realitas bentukan media.

Yang terang, berita atau tulisan di media massa dianggap memiliki kebenaran absolut dan final yang seringkali dijadikan acuan dalam menentukan sikap, keputusan, atau pilihan seseorang. Maka dari itu, tujuan penataan atau perencanaan lainnya adalah agar berita atau tulisan dapat dipertanggungjawabkan baik secara jurnalistik maupun secara etik.

Teori penataan atau perencanaan (agenda setting) termasuk salah satu teori komunikasi yang membuktikan bahwa media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Artinya, dengan menggunakan agenda setting, media memiliki kekuatan untuk mengarahkan persepsi dan perhatian khalayak tentang realitas sosial yang berkembang.

Apa yang disiarkan media merupakan produk intelektual yang sarat dengan muatan kepentingan politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari pengelola, pemilik, maupun penduduk media itu sendiri. Media bukan lagi semata pelaku dalam proses konstruksi realitas sosial dalam sebuah arena publik, tapi juga wadah bagi segala subyektivitas kepentingan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat termasuk di dalamnya ideologi profesi jurnalis secara riil dipraktekkan para pekerja media.

Elemen utama yang dipakai dalam mengkonstruksi realitas adalah bahasa sebagai instrumen pokok atau konseptualisasi dalam menceritakan realitas, baik bahasa verbal seperti kata-kata lisan dan tulisan maupun nonverbal seperti gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, tabel, dan lain-lain. Dengan demikian, penggunaan bahasa, pemilihan kata, serta cara penyajian tertentu mencerminkan bentuk konstruksi realitas sekaligus menafsirkan makna tertentu atas sebuah fakta.

Pemilihan kata, struktur bahasa, cara penyajian, serta penampilan secara keseluruhan sebuah teks dapat menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus akan menghasilkan makna tertentu daerinya. Lewat bahasa, media mencoba mempengaruhi khalayak melalui pemilihan kata-kata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks.

Penggunaan bahasa, pemilihan kata, serta cara penyajian tertentu akan mencerminkan bentuk konstruksi realitas sekaligus menafsirkan makna tertentu darinya. Inilah yang juga disebut sebagai politisasi bahasa dalam pemberitaan media massa.

Bahkan, media massa bisa saja membiaskan atau membelokkan fakta yang disebarluaskan dengan melakukan pembingkaian berita atau framing. Framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu.

Penonjolan aspek-aspek tertentu dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis. Hal ini sangat berkaitan dengan pamakaian diksi atau kata, kalimat, gambar atau foto, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Pengertian praktisnya, framing adalah menyusun atau mengemas informasi tentang suatu peristiwa dengan misi pembentukan opini atau menggiring persepsi publik terhadap sebuah peristiwa atau seorang tokoh. Framing berita merupakan perpanjangan dari teori agenda setting, yaitu pemilihan fakta dalam sebuah peristiwa yang dinilai penting disajikan dan dipikirkan pembaca (publik).

Framing tak berbohong, tapi mencoba membelokkan fakta secara halus melalui penyeleksian info, penonjolan aspek eksklusif, pemilihan istilah, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan. Framing bertujuan untuk membingkai sebuah informasi supaya melahirkan citra, kesan, makna eksklusif yang diinginkan media, atau wacana yang akan ditangkap sang khalayak.

Citra atau kesan yang lahir sebagai efek framing tersebut bisa berbentuk penggambaran citra positif dengan cara memberikan legitimasi moral pada fakta atau narasumber yang diberitakan. Bisa juga citra negatif dengan mendelegitimasi atau menurunkan citra dan wibawa sosok yang diberitakan.

Begitu juga dengan pemberitaan media massa tentang Anies Baswedan sewaktu menjabat Gubernur DKI Jakarta. Buku ini meneliti lima isu pemberitaan, citra delegitimatif disematkan media pada sosok maupun kebijakan Anies saat 100 hari pemerintahannya, raihan WTP pertama kali, penyelenggaraan Formula E, serta saat pemanggilan Anies oleh KPK terkait sangkaan kasus korupsi dalam gelaran Formula E. Citra positif Anies hanya ada dalam pemberitaan acara “Terima Kasih Jakarta” saat ia berpamitan pada warga Jakarta di hari terakhir sebagai gubernur.

Sudah sewajarnya pers menjalankan fungsi kontrol dan pengawasan terhadap penguasa dan jalannya pemerintahan tanpa terkecuali, termasuk pada Anies Baswedan dan segala kebijakannya selama memimpin Jakarta. Wajar pula media massa menjalankan fungsi kontrol kekuasaan Anies agar segala kebijakan maupun kewenangannya terus berada di jalur yang benar dan berpihak pada publik.

Tentu saja ada rambu dan ketentuan terkait kode etik jurnalistik selama media menjalankan fungsi dan perannya tersebut. Ada sejumlah prinsip dalam jurnalisme yang sepatutnya menjadi pegangan bagi para jurnalis dan institusi media dalam menjalan fungsi kontrolnya.

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect, merumuskan prinsip-prinsip itu dalam sembilan elemen jurnalisme. Elemen-elemen jurnalisme tersebut salah satunya mengenai kewajiban pertama jurnalisme adalah menyampaikan kebenaran. Bentuk kebenaran jurnalistik yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran praktis dan fungsional tanpa dilandasi kepentingan tertentu.

Satu fakta atau peristiwa tidak tertutup kemungkinan akan dipandang dan dimaknai secara berbeda berdasarkan interpretasi atau prasangka yang dimiliki masing-masing pihak, baik wartawan atau sumber berita. Karena, secara logis kedua unsur ini bisa mempengaruhi obyek komunikasi secara umum. Walhasil, dampaknya bisa dua: ada realitas faktual, ada pula realitas bentukan media.

Yang terang, berita atau tulisan di media massa dianggap memiliki kebenaran absolut dan final yang seringkali dijadikan acuan dalam menentukan sikap, keputusan, atau pilihan seseorang. Maka dari itu, tujuan penataan atau perencanaan lainnya adalah agar berita atau tulisan dapat dipertanggungjawabkan baik secara jurnalistik maupun secara etik.

Kajian media dan jurnalisme memang memiliki disiplin ilmu tersendiri yang terus dinamis, seiring dengan bermunculannya teori-teori baru tentang ilmu komunikasi, media, dan jurnalistik itu sendiri. Karena itu, kehadiran buku ini diharapkan dapat memperkaya khazanah perbukuan nasional, khususnya buku-buku tentang kajian media dan jurnalisme.

Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat melengkapi, menambah, atau memperkaya teori-teori sebelumnya tentang komunikasi, media, dan jurnalisme. Diharapkan pula, buku ini bisa menjadi bacaan para peminat disiplin ilmu ini, sehingga dapat memperbanyak wawasan akademik publik.

*Penulis adalah mantan jurnalis Tempo yang juga penulis buku “Mengapa Demokrasi Tidak Mati di Jakarta?”

, , , , , , , ,

 
Chat via Whatsapp